Sabtu, 30 November 2013

Banyak Kendala Penerapan UU Perlindungan Anak



Banyak Kendala Penerapan UU Perlindungan Anak

Jakarta, Pelita
Implementasi Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) di Indonesia dirasa masih sangat sulit. Banyaknya kepentingan yang terancam jika UUPA diberlakukan secara sungguh-sungguh menjadi kendala di samping masih minimnya sarana dan prasarana penunjang UU tersebut.
\"Sosialisasi Undang Undang Perlindungan Anak dari pemerintah masih sangat kurang. Pemerintah terkesan setengah hati karena, saya menilai, perhatiannya masih kurang dalam menyikapi kekerasan yang terjadi pada anak, khususnya kekerasan seksual yang menyangkut eksploitasi seks anak di bawah umur,\" kata Sekjen Lembaga Bantuan Hukum Perlindungan Anak (LBH PA) Adwin T dalam percakapan dengan Pelita, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, penyebabnya tak lain dari banyaknya pejabat yang turut menjadi konsumen atau pengguna jasa pekerja seks anak. Bila UUPA benar-benar diterapkan hal itu tentu saja akan merugikan mereka dan mengancam kedudukan mereka. Dia juga menyatakan perilaku para pejabat itu sudah menjadi rahasia umum alias bukan hal yang baru lagi.
\"Tidak cuma pejabat, semua aparat yang berkaitan dengan masalah kekerasan pada anak mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai hakim punya kepentingan di sini. Tidak heran kalau ada kasus mereka langsung buang badan ke pemerintah,\" tandasnya.
Mengingat kasus kekerasan pada anak biasanya lebih banyak terjadi pada anak dari kalangan bawah, dia mencontohkan, pihak kepolisian umumnya akan malas menanganinya. Karenanya, menurut Adwin, kasus-kasus anak itu tidak bisa dijadikan lahan memperoleh uang. Sebaliknya, kalau pelaku kekerasan berasal dari golongan kaya, yang mampu membayar polisi, jaksa dan hakim, pelaku akan dibebaskan dengan mudah.
Faktor lain yang menjadi hambatan penegakan UUPA adalah minimnya sarana dan prasarana untuk memproses kasus-kasus yang melibatkan anak. Ruang Perlakuan Khusus, misalnya, yang seharusnya disediakan di setiap kantor polisi, baru terdapat sampai tingkat Polres, belum ke Polsek-Polsek. Sementara di tempat-tempat yang belum ada RPK, anak biasanya akan dicampur dengan tahanan dewasa padahal hal itu tidak baik sebab memungkinkan terjadinya kekerasan yang dilakukan tahanan dewasa terhadap anak pelaku kekerasan.
\"Banyak kasus anak yang terjadi di tingkat sektor tapi karena RPK ada di Polres maka anak dibawa ke Polres. Akibatnya, banyak orang tua anak-anak tersebut, yang umumnya orang tidak mampu, tidak bisa menengok anaknya karena tidak punya ongkos pergi ke Polres yang letaknya jauh dari rumahnya. Kalau sudah begini, lagi-lagi anak yang jadi korban. Jadi, pemerintah hanya bisa membuat Undang Undang, sedangkan sarana dan prasarana tidak disiapkan,\" serunya.
Kelemahan juga terletak pada sumber daya manusia yang bertugas menangani kasus anak, dalam hal ini para polwan, di mana jumlahnya masih sangat sedikit. Selain itu, pemahaman para aparat tentang hukum yang menyangkut anak pun tegolong rendah. Jaksa, misalnya, masih jarang yang menggunakan UUPA untuk menuntut para pelaku kekerasan pada anak.
\"Semua itu menyebabkan implementasi Undang Undang Perlindungan Anak di Indonesia menjadi lambat. Isi UUPA itu sendiri betul-betul menyelami isi UUPA di negara-negara Barat bulat-bulat,\" ujarnya.
Dia menjelaskan, karena diratifikasi dari luar sebagian besar isinya tidak bisa diterapkan di Indonesia. UUPA Barat, tambahnya, merupakan cerminan budaya Barat yang notabene berbeda dengan budaya Indonesia. Maka, otomatis UUPA yang berasal dari Barat itu tidak cocok bila diberlakukan di Indonesia. (m-5)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar