Beberapa waktu lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menyelenggarakan Konvensi UN. Meski ada pihak yang walk out, diskusi UN
ini berlangsung baik. Saya ingin menyampaikan mengapa UN harus jalan
terus.
Ada empat pendapat dalam diskursus publik tentang UN.
Pertama, UN hanya untuk pemetaan. Kedua, UN untuk menentukan kelulusan.
Ketiga, UN untuk menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi. Keempat, UN
untuk peningkatan mutu.
Keempat pendapat tersebut memiliki
korelasi dan interkorelasi kuat. Mengambil satu pendapat dan menafikan
yang lain justru menunjukkan pemahaman yang belum utuh terhadap proses
dan hasil evaluasi.
Pengendalian Mutu
Dalam
konsep pengendalian mutu, keempatnya juga saling terkait. Maka,
pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP No 32/2013 tentang Standar
Nasional Pendidikan, menjadi satu kesatuan baik pemetaan, seleksi,
kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu (Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58).
Apabila kita memimpin sistem
skala nasional, tetapi operasional sistem tidak sepenuhnya dalam
kendali kita, perlu minimal dua "instrumen" agar sistem berjalan baik:
standar yang berlaku nasional dan sistem evaluasi untuk pengendalian
mutu.
Secara umum pengendalian mutu didahului dengan mengukur
nilai produk dan membandingkannya dengan standar yang ditetapkan (Grant,
Montgomery). Dengan demikian, dalam pengendalian mutu harus ada
kegiatan evaluasi: dari menilai, membandingkan, dan memutuskan hasil
penilaian (Bloom).
Pengendalian mutu dilakukan dengan dua cara.
Pertama, cara melekat (online) melalui pengendalian proses, dengan
memantau hasil dari tiap langkah pembuatan produk. Pelaksananya adalah
pendidik melalui ulangan, ujian, tugas, dan sebagainya.
Kedua,
dengan cara terpisah (off line) melalui uji keterimaan (acceptance test)
produk akhir. Uji ini dilakukan terhadap lulusan sebagai produk akhir
proses pembelajaran, untuk memastikan lulusan sesuai standar kompetensi
lulusan atau tidak.
Pengendalian mutu cara kedua dilakukan bukan
oleh pelaksana (pendidik), melainkan oleh unit mandiri yang independen,
yaitu dalam bentuk UN untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi
lulusan. Ini satu-satunya standar untuk menyatakan apakah tujuan
pendidikan tercapai atau tidak.
Tentu bukan seperti Abduhzen
("Ujian Nasional Konvensional", Kompas 3/10/2013) yang menyatakan bahwa
evaluasi peserta didik oleh lembaga mandiri adalah terhadap standar
input seperti umur peserta didik, apalagi kemudian dikaitkan dengan
angka partisipasi kasar yang menyatakan kuantitas pendidikan bukan
kualitas pendidikan.
Analisis Penyebab
Tujuan
pengendalian mutu adalah memastikan peningkatan mutu secara
berkesinambungan (continuous quality improvement). Untuk itu, evaluasi
pengendalian mutu perlu agar diketahui penyebab penyimpangan sekaligus
langkah perbaikannya. Dalam hal inilah UN dipergunakan untuk pemetaan
sekaligus pembinaan-perbaikan mutu.
Sekarang telah dikembangkan
indeks kompetensi (IK) peserta didik dan satuan pendidikan untuk setiap
mata pelajaran yang diujikan melalui UN. Agregasinya digunakan untuk
menyusun IK kabupaten, kota, provinsi dan nasional. Melalui IK, akan
diketahui kompetensi apa dari setiap mata pelajaran yang harus
diperbaiki.
Berdasarkan analisis penyebab, ada kebijakan afirmasi
terhadap 100 kabupaten/kota. Hasilnya, peningkatan rerata nilai UN murni
jenjang SMA dari 6,16 (2010) menjadi 6,78 (2011). Pendekatan yang sama
terhadap 154 SMA dengan rerata nilai UN murni 5,78 (2011) meningkat
menjadi 6,15 (2012). Fakta ini sangat berbeda dengan tuduhan subyektif
Doni Koesoema ("Konvensi (Setelah) Penghapusan UN", Kompas, 27/9/2013)
bahwa UN belum berhasil meningkatkan mutu peserta didik.
Terkait
kegagalan Georgia dan Philadelphia yang dikatakan Doni Koesoema, tidak
menyurutkan minat pemerintah federal dan negara bagian Amerika Serikat
memiliki ujian nasional. Saat ini 24 negara bagian membentuk konsorsium
pelaksanaan ujian nasional, sebanyak 20 negara bagian lain membentuk
konsorsium serupa.
Mengapa tidak menggunakan pengendalian mutu
statistika (statistical quality control) dengan uji keterimaan secara
sampel (acceptance sampling)? Ada banyak alasan sehingga praktik terbaik
di dunia belum ada yang berani menggunakan teknik ini. TIMMs dan PISA
menggunakan sampel karena keduanya bukan alat penjamin mutu, tetapi
pengukur dan pembanding mutu.
UU Sisdiknas telah merumuskan
pengendalian mutu dengan jelas. Operasionalnya merumuskan evaluasi hasil
belajar sebagai bentuk pengendalian proses dilakukan oleh pendidik dan
evaluasi peserta didik sebagai bentuk uji keterimaan melalui UN oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kajian akademis tentang
pengendalian mutu membuktikan bahwa UN adalah amanat UU Sisdiknas dan
ditafsirkan Jusuf Kalla secara benar dari perspektif akademik, bukan
sebagai politisi dan pedagang seperti ditulis Acep Iwan Saidi ("Ujian
Nasional yang Permisif", Kompas, 3 /10/2013).
Masalahnya sekarang adalah bagaimana tataran praktis bisa melaksanakan hal ini dengan baik.
* Artikel ini sudah pernah dimuat di Harian Kompas, Rabu, 23 Oktober 2013
http://nasional.inilah.com/read/detail/2045175/un-upaya-pengendalian-mutu-pendidikan#.UpvuHSfnsdU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar